Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Senin, 17 Februari 2014

MISTERI KOTA YANG MUSNAH AKIBAT ZINA

Kota Pompei terletak digaris laut Mediterania, dekat kota Naples (Neapolis) di Italia Selatan. Pompeii adalah kota besar dan ramai semasa pemerintahan Kaisar Romawi Neron. Kota ini termasuk daerah koloni orang-orang Romawi, yang dihuni oleh 20.000 jiwa, 40% dari mereka adalah kalangan budak. Pompeii menjadi kota yang makmur dari tempat pesiar di musim panas yang dilengkapi villa-villa, kuil atau candi, gedung-gedung teater atau pertunjukan, pemandian dan arena laga (colisium/colesseum).

Sekarang ini, tidak ada yang tersisa dari kota ini selain berkas peninggalan kuno. Pompeii terletak di bawah gunung berapi Vasuvius yang memiliki ketinggian 1.200 m dari permukaan laut. Kota Pompeii hancur akibat ledakan hebat gunung Vasuvius, ledakan super dahsyat yang mengubur kota Pompeii dan kota Herkulaneum.

Letusan gunung mulai memuntahan lava panas pada siang hari, 24 Agustus 79 M ( 491 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad), yang menyebabkan awan asap berlapis-lapis bagaikan pohon Shanbir yang menutup matahari, merubah siang menjadi gelap yang berkepanjangan. Penduduk kota Pompeii berusaha lari dan mengurung diri di dalam rumah untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak ada gunanya. Hari itu adalah hari raya dewa api dalam keyakinan Romawi. (subhannallah ‘ amma yusyrikun)

Kota Pompeii terkubur lava panas dan material gunung selama 1668 tahun hingga ditemukan pada tahun 1748 M, yaitu bersamaan ditemukannya kota Herkulaneum (herculaneum). Dari penemuan itu berhasil ditemukan korban meninggal dalam keadaan utuh tanpa ada kerusakan bahkan hingga gigi mereka (tetap utuh). Mimik muka yang menyatukan semua korban adalah rasa takut dan rasa terbelalak. Pada satu tempat ditemukan mayat-mayat yang keras membatu. Karena debu-debu lahar yang beracun yang bisa kita anggap sebagai alami-masuk kebagian dalam tubuh yang basah, sehingga menjaga bentuk dan rupa manusia serta binatang sebagaimana adanya.

Dari penemuan ini terungkap bagaimana krakteristik kota yang kaya serta kemakumuran yang dirasakan oleh masyaraktnya pada waktu itu. Banyak orang kaya yang hidup mewah bangga dengan kekayaan mereka. Dikota ini terdapat jaringan (instalasi)air di dalam rumah , kamar mandi umum dan jalan-jalan yang tersusun rapi dengan batu-batu, ada juga pelabuhan laut yang cangih, begitu pula panggung-panggung sandiwara , dan pasar-pasar. Sisa dan jejak peninggalan mereka menunjukkan perhatian mereka terhadap seni dan ukiran (pahatan), dan masyarakat penghuni kota ini adalah warga Romawi kuno dengan semua tingkatan dan status sosial yang termasuk budak.

Maksiat Yang Merebak Di dalam sejarahnya, para penduduk kota Pompeii gemar dan paling nomor satu dalam hal maksiat. Mereka sering menggelar perzinaan di rumah – rumah mereka, di jalan – jalan, bahkan hampir setiap rumah adalah rumah pelacuran. Banyak juga para pendatang dari Yunani dan Venesia yang ‘menikmati’ wanita – wanita disana, berhubung kota itu juga menjadi pelabuhan yang aman oleh para pelaut. Suatu pertanda bahwa masyarakat itu (Pompeii) adalah masyarakat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang.

Sebelum kota ini hancur terkubur, masyarakat diwaktu itu tidak menggubris tanda-tanda akan terjadinya letusan gunung. Mereka tidak ambil pusing dengan goncangan-goncangan kecil ata goncangan kuat., tidak pula terhadap awan putih yang menggumpal di atas kawah gunung. Manusia disaat itu tidak belajar dari gempa bumi yang pernah menghancurkan kota mereka 17 tahun sebelumnya. Mereka tidak mengubris seruan kaisar Romawi, Neuron supaya meninggalkan kota. Berangkali alasan mereka adalah mereka memandang letusan gunung berpai membawa banyak kebaikan. Debu yang dibawa sangat kaya dengan bahan mineral yang bisa menjadi pupuk bagi tanaman mereka sehinga berbuah lebat. Air hujan yang turun kepada mereka dan mengairi tanaman yang disebabkan adanya gunung berapi tersebut yang selalu mendatangkan awan. Banyak tanda dan alamt akan terjadi letusan hebat. Beberpa hari sebelumnya terjadi goncangan hebat (gempa bumi) yang mengerikan sebagian sumur, juga mematikan sumber-sumber mata air, sementara anjing-anjing menggonggong sedih atas diamnya burung-burung.

Semua tanda itu tidak di indahkan oleh penduduk kota hingga di waktu dhuha, sementara mereka sibuk berdagang dan canda tawa, ditengah hari tanggal 24 Agustus 79 M, manusia mendengar hiruk pikuk yang menghebohkan, batu-batu besar terbelah, disusul lahar panas, asap, debu yang terbang tinggi mengarah kelangit kemudian setengah jam berikutnya semuanya jatuh menimpa kepala penduduk kota Ponpeii. Sebagian dari mereka berhasil meyelamatkan diri ke pelabuhan, dan yang lain bersembunyi dirumah-rumah dan gedung. Setelah itu mereka semua berubah menjadi mayat yang membatu. Pada penggalian jejak kota ini ditemukan kurang lebih 2000 mayat. Banyak dari mereka tergencat bebatuan yang berjatuhan menimpa atap-atap rumah dan gedung.

Beberapa jam kemudian, lahar panas yang berlimpah ruah mengubur kota tersebut dan membumihanguskan semua bentk tanda-tanda kehidupan di sana. Akhirnya kota tersebut terkubur hingga 3 meter oleh lahar panas dan debu. Setelah kejadian semburan batu panas dari Gunung Vesuvius, maka banyak ditemukan mayat – mayat bergelimpangan, dan banyak pula yang mati sedang melakukan maksiat (zina), ada juga yang melakukannya dengan sejenis dan bahkan diketahui ada yang masih berusia belia. Na’udzubiLLahi min dzalik.

Mirip memang dengan peristiwa kaum Luth –‘alayhis salaam- (kaum
penghuni kota Sodom) yang Alloh luluhlantahkan dengan hujan batu.

“ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?

Atau apakah penduduk mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga)/ tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”*(QS. Al-A’raf :96-99)

Allah membinasakan penduduk kota Romawi, Pompeii, karena mereka berbuat aniaya dimuka bumi dan banyak merusak disetiap lini kehidupan. Diantara mereka senang mengadakan pertunjukan pertarungan antara manusia dengan manusia atau dengan binatang buas, yang berakhir hingga matinya salah satu peserta laga.

posted by 
http://muslimina.blogspot.com/search/label/Sejarah

Minggu, 19 Januari 2014

KHUTBAH YG MENGONCANGKAN DUNIA


Waktu dan Pesona Kehidupan


Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukan malam kedalam siang dan memasukan siang kedalam malam dan Dia menundukan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan
[Al-Luqman: 29]
Tahukah kita, ternyata rahasia waktu begitu istimewa dalam kehidupan? Hal terdekat dalam keseharian kita seperti perbedaan letak geografis, dapat membuat eksistensi waktu menjadi begitu unik. Dengan perbedaan ini, setiap orang di berbagai belahan dunia dapat memanfaatkan waktu dengan cara yang unik pula. Sore hari, orang-orang di Inggris akan menikmati waktunya untuk minum teh bersama pasangan atau keluarga. Pada waktu yang bersamaan, di belahan bumi yang lain, tengah malam orang-orang di Jepang masih menikmati waktunya dengan berjibaku pekerjaan.
Demikian juga perbedaan letak astronomis. Setiap perbedaan 1 bujur derajat,  berbeda pula waktu kita selama 4 menit. Sehingga kita yang hampir terlelap tidur pukul 10 malam di Indonesia, dapat menerima kabar bahagia seorang sahabat dekat lewat handphone, bahwa ia dan teman-teman pertukaran pelajar dari negara lain akan menunaikan Sholat Maghrib di Saudi Arabia untuk pertama kalinya.
Kedua perbedaan ini, membuat banyak orang yang memperoleh pengalaman pertama menginjakan kaki di belahan bumi lain, merasakan pengaruh perbedaan waktu yang signifikan. Jika pembaca pernah mendengar istilah ‘jet lag’, mungkin Anda pernah tahu bahwa perbedaan persepsi waktu ini sangat kentara dirasakan oleh orang yang (pertama kali) menginjakan kaki di negara lain.
Sebagai ilustrasi. Seseorang yang naik pesawat dari Indonesia pukul 2 sore, setelah melewati 8 jam perjalanan di pesawat,  ia melihat jam yang masih dalam setting Indonesia saat itu akan menunjukan pukul 10 malam. Merasa lelah dan seharusnya sudah malam, ia  merasakan kantuk dan ingin segera tidur setibanya di negara tujuan. Tapi di negara tujuan ia justru masih merasakan sinar matahari  sore.
Hari pertama di negara tujuan dapat saja dilewati seseorang dengan mengikuti standar waktu negara asal. Namun hari-hari berikutnya, ia dan jam biologisnya akan dan harus segera menyesuaikan diri dengan standar waktu negara dimana ia berada. Ia akan tidur jika waktu di negara setempat menunjukan pukul 11 malam, dan akan bangun saat pukul 4 dini hari.
Allah yang Mahahalus ilmunya  membuat efek perbedaan waktu ini menjadi begitu ajaib! Dengan menciptakan bumi yang
hampir berbentuk bulat, membuatnya berputar pada poros dari barat ke timur, Sang Mahapengasih menerbitkan matahari untuk memberi kehidupan. Dengan ini, dalam waktu yang bersamaan manusia dan makhluk-makhluk bumi  menikmati berkah dari kehidupan dengan beragam aktifitas yang berbeda di setiap belahan bumi. Begitulah rahasia waktu merangkai pesona kehidupan, dengannya manusia bisa mengambil pelajaran yang tak berbatas.
Pada pembaca Selembar Madani, saya ingin berbagi sebuah temuan menarik dari penelitian Yong-Soon Kang, Paul Herr, dan Christine Page dalam jurnal ‘Time and Distance: Asymmetries in Consumer Trip Knowledge and Judgments’. Tiga peneliti ini menemukan bahwa ternyata informasi mengenai jarak tempuh waktu lebih dapat tersedia dalam ingatan dibandingkan dengan jarak tempuh kilometer pada orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Contoh yang sangat Indonesia adalah, orang akan lebih mudah mengingat 4 jam jarak tempuh waktu Jakarta – Bandung  dibandingkan dengan 170 KM jarak tempuh kilometer ibukota dengan kota kembang ini. Hal tersebut disebabkan karena orang-orang menjadi lebih aware sadar dan mendapat insight bahwa waktu merupakan dimensi penting dalam perjalanan (kehidupan).
Dalam salah satu tulisannya, Anis Matta (2008) juga bercerita mengenai sebuah riset kecil yang dilakukan pada buruh-buruh Aljazair di Perancis. Riset kecil ini menunjukan bahwa setelah bertahun-tahun, wajah-wajah buruh yang didatangkan dari Aljazair menjadi tampak lebih baik dan lebih indah. Sentuhan peradaban telah meninggalkan goresan keindahan pada sorot mata dan garis-garis wajah mereka. Diceritakan pula dalam tulisan, saat tersenyum wajah mereka menjadi tampak lebih renyah, lebih terbuka, dan lebih mampu menyatakan isi jiwa mereka.
Peneliti menemukan bahwa penampilan mereka kini jauh lebih bagus. Ia bertutur: kami selalu memotret wajah mereka lebih indah setiap kali pengetahuan dan kemampuan membaca mereka bertambah. Pesona pengetahuan membuat mereka berkembang dan lebih berdaya, membuat buruh-buruh yang tinggal di Perancis ini menjadi tampak lebih indah dari waktu ke waktu. Ya! Kata kuncinya adalah waktu. Waktu yang kemudian bertemu dengan peradaban, kesempatan dan kemauan yang baik. Mereka mempergunakan waktu untuk memperoleh pengetahuan. Memperoleh keberdayaan dan kemahiran tertentu yang mereka pergunakan dalam kehidupan.
Waktu menjadi semakin unik ketika dikaitkan dengan perbuatan baik manusia. Pernahkah terlintas dalam benak kita mengenai motif  seorang mahasiswa(i) yang merasakan nikmat dan aliran kebahagiaan ketika menghabiskan sebagian waktunya dalam pengembangan komunitas keluarga dan anak-anak di lingkungan sekitar, kegiatan penanganan trauma bencana, pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan mahasiswa, dan segala bentuk upaya  membantu dan meringankan beban kehidupan orang-orang di sekitar? Tidakkah ini membuatnya merasa lelah, karena ia justru harus berkorban waktu lagi
untuk misalnya begadang semalaman, mengejar tugas-tugas perkuliahan?
Menarik sekali. Psychology of Giving menjelaskan bahwa pengorbanan waktu dan perilaku memberi ini membawa pengaruh positif pada pelakunya, selain kepada orang lain. Hal ini memberikan penjelasan atas pertanyaan ‘Why Do People Give?’, dengan temuan bahwa seseorang yang memberikan  waktunya untuk melakukan kebaikan-kebaikan pada orang lain cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Mereka lebih dapat mempersepsikan  kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan lebih baik. Dan secara timbal balik, mereka yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik akan memberikan lebih banyak waktu untuk melakukan kebaikan-kebaikan pada orang lain.
Tak heran orang Inggris menyebut waktu hari ini sebagai present (hadiah). Menarik mengapa mereka memberikan sebutan present untuk waktu saat ini. Konon mereka menyebut waktu hari ini adalah sebagai sebuah hadiah (present), karena bagi mereka waktu hari ini adalah  pemberian sekaligus sebuah kejutan dari Sang Mahakuasa waktu. Ketika bungkusnya masih rapi tertutup, maka mereka harus mencoba untuk membuka bungkus dari hadiah tersebut dengan berjuang, berpikir, bergerak, dan melakukan semua hal yang terbaik.
Dalam Al-Waqtu fii Hayat Al-Muslim (Waktu dalam kehidupan Muslim) Dr. Yusuf Qar-dhawi menulis tiga karakter waktu. Pertama, berlalunya waktu sangat cepat. Oleh Karena itu, seorang muslim perlu menata aktifitas dengan amal sholeh. Kedua, waktu Visi Media.
tidak akan pernah kembali, ia hanya akan menjadi dua kemungkinan: menjadi kenangan indah atau menjadi sebuah penyesalan. Ketiga, waktu adalah milik manusia yang amat bernilai. Merugilah orang yang melewatinya tanpa amal sholeh.
Sejatinya, hak waktu yang kita miliki terbagi menjadi waktu untuk Allah dan waktu untuk diri-sendiri. Dalam konteks ibadah kita kepada Allah, diantara dua hak waktu ini terdapat pula penghubung diantara, yaitu  waktu untuk orang lain. Jika sulit menghadirkan bayangan ‘orang lain’ dalam tulisan ini, mari hadirkan bayangan orang-orang terdekat kita: Ibu, Ayah, Kakak, Adik, Sahabat-sahabat terbaik kita, orang-orang yang sangat dekat dengan kita.
Dalam perspektif penulis, relasi waktu dalam kaitannya dengan hak untuk orang terdekat, telah dirangkum dalam lima tulisan Anis Matta (2008): Indahnya Memberi, Seni Memperhatikan, Semangat Penumbuhan, Merawat dengan Kebajikan, Melindungi dengan Keberanian, dan Aura Kehidupan. Dalam lima tulisan ini, ia menjelaskan peran dan eksistensi diri kita dalam kehidupan orang-orang terdekat.
Indahnya Memberi. Untuk orang-orang terdekat, memberi menurutnya menjadi bagian dari pekerjaan kita.   Yaitu memberi apa saja yang diperlukan oleh orang-orang terdekat untuk tumbuh menjadi lebih baik dan berbahagia karena pemberian kita. Keberadaan kita dapat menjadi air dan matahari bagi mereka. Dengan ini, orang-orang terdekat dapat tumbuh dan berkembang dengan siraman air kita, mereka besar dan berbuah dari sinar cahaya kita.
Seni Memperhatikan. Pemberian pertama kita pada orang-orang terdekat atas
waktu kita, menurutnya adalah perhatian. Perhatian ini lahir dari hati kita, dari keinginan yang tulus memberikan apa saja yang diperlukan orang lain menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya. Untuk melakukan pemberian jiwa ini, maka orang-orang yang berhasil memberi  perhatian hanya mereka yang mampu keluar dari dalam dirinya dan terbebas secara psikologis, independen secara emosional, dan tidak menuntut banyak perhatian orang lain.
Semangat Penumbuhan. Menurutnya, inilah yang dapat menjelaskan mengapa kehadiran kita atau orang lain dapat merubah kehidupan orang-orang terdekat menjadi lebih bernilai, lebih bermakna. Penumbuhan ini berarti melakukan tindakan-tindakan nyata agar orang lain dapat bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Kehadiran kita dapat menginspirasi orang lain meraih kehidupan yang paling bermutu yang dapat ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.
Merawat dengan Kebajikan. Hubungan  yang mendalam dengan orang-orang terdekat  menurutnya, hanya berkesinambungan ketika mengalami perbaikan terus-menerus. Sehingga diri kita dan orang-orang terdekat dapat terus bertumbuh dengan baik. Tetapi pertumbuhan ini tidak akan jadi permanen tanpa perawatan yang permanen pula. Oleh karena itu, pertumbuhan yang dilakukan dengan memfasilitasi proses pembelajaran, perlu penyempurnaan berupa perawatan dengan sentuhan kebajikan pada orang-orang terdekat. Sehingga, jika pertumbuhan mampu memberikan dinamisasi kehidupan, maka perawatan akan mampu memberi kekuatan psikologis pada orang-orang terdekat dalam menjalani dinamika pertumbuhan tersebut.
Melindungi dengan Keberanian. Hak yang satu ini membuat orang-orang terdekat merasa aman di dekat kita. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikologis, moral, bahkan finansial. Saat kita sudah melakukan pekerjaan memberi, menjadi pemerhati serius bagi orang-orang terdekat,  melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat dengan kebajikan, maka penyempurnanya yaitu dengan dengan melindunginya: melindungi jiwanya, melindungi raganya, melindungi masa depannya.
Aura Kehidupan. Dengan empat hal diatas, yang tindakan utamanya adalah memberi, memperhatikan, menumbuhkan, dan melindungi orang-orang terdekat maka tanggungjawab besar atas eksistensi kita selanjutnya adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dengan ini, dengan aura kehidupan yang kita miliki, orang-orang terdekat dapat merasakan denyut nadi kehidupan, merasakan hamparan indah kehidupan, merasakan alasan tentang mengapa mereka hidup dan melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi merakit pemaknaan tiada henti terhadap kehidupan. Ya!   Intinya membuat orang-orang di sekeliling merasakan sensasi dan pemaknaan atas hidup.
Sampai disini, bersama dengan paparan-paparan diatas, penulis hanya ingin menemani dan mengantarkan pembaca Selembar Madani pada sebuah renungan sederhana: Bahwa dalam waktu-waktu yang kita miliki, dalam setiap kesempatan yang kita punyai,  sudahkah kita mempertemukan pesona kita dan pesona orang-orang terdekat untuk  menjadikannya sebuah pesona kehidupan? Dalam bahasa yang lain—adaptasi bahasa Iqbal Sang Filosof dunia: sudahkah nafas kita meniup  kuncup orang-orang terdekat menjadi bunga?
Dan mengakhirinya dengan sebuah doa.  Semoga kita semua menjadi orang-orang yang beruntung: orang-orang yang dengan amal terbaiknya, menggunakan waktu dan kesempatannya untuk menciptakan pesona kehidupan yang lebih baik.
Seorang hamba tidak akan berpindah tempatnya sebelum ditanya empat perkara; tentang umurnya dengan apa dilalui, tentang ilmunya apa yang telah dilakukannya, tentang hartanya darimana ia dapat dan kemana ia nafkahkan dan tentang fisik-nya bagaimana ia gunakan (HR. Turmudzi)
MUHAMMAD ALFIKRI
JAKARTA, 16DESEMBER 2012

PEMIMPIN YANG DI RINDUKAN


Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ingin mengetahui sendiri kondisi para gubernurnya di saat memimpin suatu daerah. Maka, beliau bertanya kepada rakyat mengenai para gubernur dan kelayakan mereka dalam menetapkan hukum. Suatu hari beliau datang ke Himsha. Saat itu Sa’id bin Amir al-Jamhi radhiyallahu ‘anhu yang menjadi gubernur daerah Himsha.
Umar mengumpulkan penduduk Himsha dan bertanya kepada mereka, “Wahai penduduk Himsha! Bagaimana penilaian kalian terhadap gubernur kalian, Said?” Mereka menjawab, “Kami mengeluhkan darinya empat hal: dia tidak keluar untuk mengurusi kami sebelum siang hingga matahari telah meninggi, dia tidak melayani seorang pun dari penduduk di malam hari, dalam satu bulan ada satu hari dia tidak keluar mengurusi kami, dia sering terkena pingsan, sehingga dia antara hidup dan mati.” Mendengar pernyataan masyarakat Himsha Umar radhiyallahu ‘anhu mempertemukan Sa’id radhiyallahu ‘anhu dengan mereka untuk mengklarifikasi berita tersebut.
Umar bergumam, “Ya Allah! Janganlah engkau mengubah penilaianku terhadap dirinya lantaran apa yang mereka keluhkan darinya pada hari ini.” Umar lalu mempersilahkan gubernurnya itu menanggapi isu tersebut. Sa’id mengatakan, “Mengenai saya tidak keluar hingga matahari siang telah meninggi, karena keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka, saya sendiri yang membuat adonan roti, kemudian saya menunggu hingga adonan itu meragi, barulah setelah membuat roti saya keluar. Kemudian saya berwudhu mengurusi penduduk.
Adapun saya tidak melayani seorang pun di antara penduduk di malam hari, karena saya telah menjadikan waktu siang saya untuk mereka dan saya menjadikan waktu malam saya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengenai satu hari dalam sebulan saya tidak keluar untuk mengurusi seorang pun, karena saya tidak mempunyai pembantu untuk mencucikan baju saya, dan saya tidak mempunyai pakaian ganti yang bisa saya pakai sampai pakaiannya kering, kemudian saya memakainya dan saya keluar mengurusi mereka di penghujung siang.
Sedangkan pingsan yang menjadikan diriku antara hidup dan mati sebabnya ialah sesuatu yang menyakitkan, yaitu saya menyaksikan kematian Khubaib bin Adi al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Sungguh, orang Quraisy telah memotong-motong dagingnya kemudian mereka membawanya ke atas batang pohon untuk memberikan siksaan yang melampaui batas dan membuatnya pedih agar dia mengufuri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berakta kepadanya, ‘Apakah engkau senang bia kami jadikan Muhammad yang kamu tunduk pada agamanya berada pada posisimu sekarang’ Dia pun menolak dengan berkata, ‘Demi Allah, saya tidak senang hidup di tengah-tengah keluargaku sementara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jarinya tertusuk duri dan menyakitinya.’ Lantas saya ingat hari itu dan panggilan itu. Saya tidak membela Khubaib radhiyallahu ‘anhu padahal dia dalam kondisi yang buruk karena ketika itu saya masih musyrik, saya belum beriman kepada Allah Yang Maha Agung dan tidak beriman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Saya tidak ingat itu kecuali saya beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuniku karena dosa untuk selamanya. Maka dari itu, saya mengalami guncangan kemudian pingsan.” Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengubah penilaianku terhadap dirimu.”
jakarta,2 mei 2013
muhammad alfikri

ORBIT KEBERKAHAN


Keberkahan yang dikukuhkan Allah dalam ayat-Nya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Isra’: 01)
Ibnu Jarir ath-Thabary menafsirkan keberkahan di atas dengan “negeri yang dikelilingi keberkahan bagi penduduknya, dalam aktifitas kehidupan, makanan serta tanaman-tanaman mereka”. Sementara Ibnu Katsir setelah menjelaskan letak Al-Masjid Al-Aqsha, beliau menafsirkan keberkahan meliputi buah-buahan dan tanam-tanaman yang ada di dalamnya.
Hadits dan Astar keberkahan negeri sekitar Masjidil Aqsha ini cukup banyak, di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu al-Hasan ar-Rab’iy dalam Buku “Fadha’il Asy-Syam wa Dimasyqa” [h. 37] mengabadikan perkataan Abu Sallam al-Habsyi, “Sampai kepadaku [kabar] bahwa keberkahan di dalamnya dilipatgandakan”. Rasulullah Saw pernah berdo’a untuk negeri Syam, “Ya Allah berkahilah negeri Syam, berkalihah negeri Yaman” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu ‘Asakir). Nabi juga menerima isyarat lewat mimpinya bahwa negeri ini akan ditimpa fitnah sebagaimana fitnah tersebar di mana-mana tetapi iman akan tetap bercokol di dalamnya (lihat hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash. HR Hakim dalam Mustadrak, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, juga Ibnu Asakir, al-Baihaqi dan Thabrani)*.
Secara fisik, keberuntungan yang disebut al-Quran serta beberapa hadits dan atsar di atas serta masih banyak lagi sebagai “keberkahan” yang diturunkan Allah di sekitar Masjid al-Aqsha tentu sulit dicapai. Salah satu caranya adalah dengan menjadi penduduk Syam, tinggal di sana atau beraktivitas di sana atau setidaknya berkunjung ke sana.
Namun, bisa jadi keberadaan fisik ini malah menimbulkan sesuatu yang kontra, karena tak sedikit orang-orang yang ada di sana, justru menjadi sumber berkurangnya keberkahan fisik. Karena perlakuan-perlakuan zhalim, sikap-sikap yang berlawanan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya. Terjadi penindasan, perlakuan dehumanisasi para penduduknya, kekerasan yang ditimbulkan dan sebagainya membuktikan bahwa keberkahan yang diturunkan Allah di sekitar masjid ini tak bisa dinikmati –bahkan- oleh orang yang berada secara fisik di dekatnya. Karena tafsiran “alladzî baraknâ haulahû” ternyata tidak serta merta berbentuk fisik yang berarti batas teritorial tertentu.
Para ulama dan pakar sejarah dari kalangan umat Islam telah banyak yang memformulasikan dan mendefinisikan secara geografis makna wilayah keberkahan di atas dengan Negeri Syam dengan sandaran-sandaran dalil hadits dan atsar. Pembicaraan tentang itu mungkin tidak dibahas dalam tulisan kali ini.
Penulis mencoba membuka makna keberkahan non geografis yang mungkin bisa dicapai oleh orang-orang yang berada jauh secara fisik dari Masjid al-Aqsha. Oleh beberapa ulama, terutama al-Maqdisiyyin (yang bermukim di kota al-Quds) menafsirkannya dengan berbagai upaya dan usaha untuk menjaga Masjid al-Aqsha sebagai bentuk usaha mencapai keberkahan Allah.
Artinya, pikiran, tulisan, aktivitas, harta benda dan segala yang ada; jika diarahkan untuk menjaga Masjid al-Aqsha, bukan tidak mungkin justru keberkahan Allah yang menghampiri kita. Apalagi saat ini Masjid al-Aqsha terancam secara fisik. Masjid ketiga yang disarankan Nabi Muhammad SAW untuk dikunjungi ini rawan dihancurkan, wilayah fisiknya didistorsis dengan penyelewengan fakta sejarah, penduduk-penduduk aslinya diusir dan dipenjara, pelan namun pasti tanah-tanah yang ada di sekitarnya diduduki dengan paksa dan ilegal, sementara dunia Internasional menutup mata. Jika pun ada simpati baru sekedar melalui pernyataan dan kecaman saja. Padahal secara sah, wilayah al-Quds merupakan wilayah netral yang tidak diberikan kepada pihal Israel maupun otoritas Palestina. Namun, pada kenyataannya wilayah yang hanya 0,5 % dari keseluruhan wilayah Palestina ini dikooptasi oleh Israel.
Jika demikian keterpanggilan kita pada permasalahan Masjid al-Aqsha akan menarik kita dalam orbit keberkahan. Jika dua puluh dua negara yang berada dalam wilayah Asia Pasifik pada sensus 2011 berpenduduk 2,199,850,085, kira-kira berapa persen dari umat Islam yang terpanggil oleh orbit keberkahan di atas. Jika menggunakan pendekatan yang lebih humanis maka pemutarbalikan fakta dan penghancuran situs yang dilindungi dan disucikan termasuk di dalamnya pembersihan etnis, adalah musuh kemanusiaan. Maka menjadi kewajiban setiap kita untuk mengkampanyekan pembebasan Palestina. Jika dengan pendekatan ideologis, maka sangat wajar pusaran orbit keberkahan bisa dijadikan salah satu bahan persuasif. Jika melalui pendekatan kemanusiaan, maka tindakan kekerasan, pengusiran termasuk ancaman langsung terhadap al-Quds dan penduduknya bisa dijadikan alat pemersatu untuk mengakhiri penjajahan dan pendudukan.
Nada sumbang yang disosialisasikan adalah kekhawatiran pihak “non muslim” jika Umat Islam kembali ke Palestina. Padahal sejarah menuturkan bahwa masyarakat heterogen pernah dan selalu hidup berdampingan di sekitar Bait al-Maqdis secara damai dan bersahabat di bawah pemerintahan Umar bin al-Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi. Meski pula sejarah mencatat selalu ada pertempuran sengit antara kebenaran dan kebatilan, nafsu serakah dan kejernihan, kezhaliman dan ketertindasan,
Jika Israel mengerahkan para pakar Yahudi di berbagai negara dengan berbagai latar belakang bahasa dan kepakaran untuk mencapai ambisinya menjadikan al-Quds (Jerussalem) sebagai ibukota Israel Raya, maka seharusnya Umat Islam mampu menjadikan Bait al-Maqdis sebagai magnet yang menarik seluruh bangsa dan kaum Muslim untuk berada dalam orbit keberkahan, melindungi Masjid al-Aqsha. Sekaligus lebih lantang lagi menyedot perhatian dan pembelaan masyarakat internasional bahwa tindakan ilegal pendudukan, pengusiran, penawanan dan berbagai aktivitas brutal lainnya terutama untuk wilayah al-Quds dan penduduknya, harus segera dihentikan dan para pelakunya dihukum dengan setimpal.
Hadirkan orbit-orbit keberkahan di rumah-rumah kita, kantor-kantor kita, kampus-kampus kita, sekolah-sekolah kita, surau-surau dan masjid kita, majelis-majelis taklim kita, sosial media kita, media masa elektronik dan cetak. Bahkan anggota badan kita, mata, telinga, mulut dan indera-indera lainnya memungkingkan untuk mendapatkan sentuhan keberkahan tersebut. Maka, dalam munajat dan alunan-alunan doa sudah semestinya tak terlewatkan untuk permohonan pembebasan Masjid al-Aqsha, orbit keberkahan yang dinantikan oleh banyak orang.

Dr. Saiful Bahri, M.A

(Ketua Asia Pacific Community for Palestine

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz


Keluarga Umar bin Abdul Aziz
Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, ya begitulah rakyatnya memanggilnya. Seorang pemimpin yang saleh, kharimastik, bijaksana, dan dekat dengan rakyatnya. Sosoknya yang begitu melegenda tentu membuat hati penasaran untuk mengenalnya. Peristiwa-peristiwa pada pemerintahannya menimbulkan rasa cinta untuk meneladaninya. Berikut ini bersama kita simak biografi singkat dari sang khalifah yang mulia.
Ia adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Manaf, seorang imam dalam permasalahan agama dan dunia, penghafal hadis nawabi, mujtahid, laki-laki yang zuhud, pula ahli ibadah, sosok yang benar-benar layak digelari pemimpin orang-orang yang beriman. Ia dikenal juga dengan Abu Hafs, nasabnya Al-Qurasyi Al-Umawi.
Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang dari gubernur Klan Umayah. Ia seorang yang pemberani lagi suka berderma. Ia menikah dengan seorang wanita salehah dari kalangan Quraisy lainnya, wanita itu merupakan keturunan Umar bin Khattab, dialah Ummua Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, dialah ibu Umar bin Abdul Aziz. Abdul Aziz merupakan laki-laki yang saleh yang baik pemahamannya terhadap agama. Ia merupakan murid dari sahabat senior Abu Hurairah.
Ibunya Ummu Ashim, Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Bapaknya Laila merupakan anak Umar bin Khattab, ia sering menyampaikan hadis nabi dari Umar. Ia adalah laki-laki dengan perawakan tegap dan jangkung, satu dari sekian laki-laki mulia di zaman tabi’in. Ada kisah menarik mengenai kisah pernikahannya, kisah ini cukup penting untuk diketengahkan karena dampak kejadian ini membekas kepada keturunannya, yakni Umar bin Abdul Aziz.
Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan, “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah, ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka.’ Sementara Umar mendengar semua perbincangan tersebut. Maka dia berkata, ‘Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini.’ Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.
Di pagi hari Umar berkata, ‘Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?’ Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz.”
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata, “Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan, “Sesungguhnya keluarga Al-Khattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya.” Mereka mengira bahwa dialah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.
Kelahiran dan Wafatnya
Ahli sejarah berpendapat bahwa kelahiran Umar bin Abdul Aziz terjadi di tahun 61 H. Ia dilahirkan di Kota Madinah An-Nabawiyah, pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Umar bin Abdul Aziz tidak memiliki usia yang panjang, ia wafat pada usia 40 tahun, usia yang masih relatif muda dan masih dikategorikan usia produktif. Namun, di balik usia yang singkat tersebut, ia telah berbuat banyak untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus.
Ia dijuluki Asyaj Bani Umayah (yang terluka di wajahnya) sebagaimana mimpi Umar bin Khattab.
Saudara-Saudara Umar bin Abdul Aziz
Abdul Aziz bin Marwan (bapak Umar), mempunyai sepuluh orang anak. Mereka adalah Umar, Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ibu mereka adalah Laila binti Ashim bin Umar bin Kahttab. Abdul Aziz mempunyai enam anak dari selain Laila, yaitu Al-Ashbagh, Sahal, Suhail, Ummu Al-Hakam, Zabban dan Ummul Banin. Ashim (saudara Umar) inilah yang kemudian menjadi kunyah ibunya (Laila Ummu Ashim).
Anak-Anak Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah.
Pada saat Umar bin Abdul Aziz wafat, ia tidak meninggalkan harta untuk anak-anaknya kecuali sedikit. Setiap anak laki-laki hanya mendapatkan jatah 19 dirham saja, sementara satu anak dari Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayah lainnya) mendapatkan warisan dari bapaknya sebesar satu juta dirham. Namun beberapa tahun setelah itu salah seorang anak Umar bi Abdul Aziz mampu menyiapkan seratus ekor kuda lengkap dengan perlengkapannya dalam rangka jihad di jalan Allah, pada saat yang sama salah seorang anak Hisyam menerima sedekah dari masyarakat.
Istri-Istrinya
Istri pertamanya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan Bani Umayah, ia merupakan putri dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu Fatimah binti Abdul Malik. Ia memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana.
Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad.
Ciri-Ciri Fisik Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda. Ada pula yang mengatakan, ia berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi.
Sumber: Perjalanan Khalifah Yang Agung Umar bin Abdul Aziz, DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Inilah keadaan Umar bin Abdul Aziz ditinjau dari lingkungan domestiknya. Ia tumbuh di lingkungan salehah dan berdarah biru. Namun bagaimanakan ia menjalankan hidupnya ketika dewasa? Bagaimana Ibadah dan muamalahnya? InsyaAllah akan kita simak di kisah selanjutnya.

DARI MASA KE MASA

Random Post

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. fikri safir - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger